Oleh: Azmi TS. Seni
Grafis cukil kayu bergerak sendirian dipandang sebelah mata bahkan minim peminat di kalangan masyarakat. Secara historis keberadaannya dalam jagad seni rupa nusantara juga sering terpinggirkan. Diperparah lagi oleh lembaga formal dan non formal yang tak mampu menghidupkannya.
KARYA Seni Grafis erat kaitannya dengan perihal cetak mencetak dan proses pembuatannya memang sedikit rumit. Sebetulnya dari kerumitan itulah seni yang jarang dilakoni seniman ini, membuktikan sisi keindahannya.
Wujud dari seni grafis memang sangat tergantung kepada seniman yang membuat cetak birunya. Mulai dari proses desain hingga hasil jadinya, membutuhkan tingkat ketrampilan yang tinggi, juga pengalaman.
Seni Grafis terkini (kontemporer) sudah tidak ada lagi ketergantungan kepada medium konvensional semata. Beberapa seniman yang berlatar akademis di bidang ini, sudah bisa memadukannya dengan teknologi. Tentu tidak pula menafikan para seniman non akademik yang otodidak, keterampilan mereka juga tak kalah hebat. Membedakan kedua seniman tersebut, lebih kepada sentuhan seni dan penyelesaian akhirnya.
Banyak keunikan dan keindahan yang tersembunyi dari hasil karya seni grafis terutama yang dihasilkan perupa nusantara kita. Tersebutlah nama M. Fadhlil Abdi, yang pernah menjuarai Trienal Seni Grafis Indonesia IV tahun 2012 lalu. Karya grafis jebolan ISI Yogyakarta umumnya berjenis woodcut print (cetak kayu) dan linocut print (cetak lino).
Karya seni grafis kontemporer M. Fadhlil Abdi mengekspresikan potret diri dengan karakter khas garis yang detail dan rumit. Dapat dibayangkan berapa lama untuk menghasilkan satu cetakan dengan detail dan kerumitan garis-garis objeknya seperti itu. Keindahan yang tampil dalam karya grafisnya menunjukkan keragaman ekspresi wajah yang tersenyum, menangis, tertidur dan sebagainya.
Ketekunan dan keseriusan perupa kelahiran Palembang, 30 Agustus 1987 ini membuktikan, seni grafis masih belum redup di tanah air. Tak banyak perupa yang menggeluti seni grafis murni (fine art), bahkan dalam masyarakat seni ini nyaris tak dikenal luas. Terlebih lagi jarang ada pegrafer Indonesia mengangkat tematik lokal, tentang kondisi geografis dan sosiologis yang berkembang di sini.
Ada anggapan dalam kalangan awam, seni grafis identik dengan desain grafis. Padahal itu sangat berbeda secara substansial dan teknis. Penyebab lain mungkin seni grafis kolektornya enggan mengoleksi kertas yang notabene mudah lapuk dan hancur. Apalagi karya seni grafis dikaitkan dengan seni murni sebagai investasi kurang menarik perhatian kolektor. Masih banyak faktor yang menghambat seni grafis sejajar dengan seni lukis.
Terutama perguruan tinggi yang membuka jurusan Grafis murni, padahal sebagai lembaga formal harus peka terhadap hal ini. Demikian pula sanggar, jarang mengarahkan aktivitas komunitasnya menciptakan seni grafis murni ini. Walaupun seni grafis lewat para pergrafisnya sudah sukses membuat even lomba dan menerbitkan buku-buku yang terkait. Sampai kini belum bisa membangkitkannya.
Melihat kenyataan pahit ini mungkin sedikit mengetuk sensitivitas, M. Fadhlil Abdi yang sudah menggelutinya sejak 2010. Kegemaran yang berawal dari pengerjaan potret diri yang pada waktu itu pemesannya dibuatkan pada selembar papan MDF, dengan teknik garis arsiran pendek rumit.
Tak disangka hobi itu keterusan, hingga saat ini dan terus saja berkreasi. Dari proses kreatif seni grafis kontemporer berupa “model” terkesan ada makna dari balik itu. Berupa perasaan melihat wajah – tertekan (defresi).
Pada hakekatnya seni grafis kontemporer Fadhlil, sengaja mencukil dengan garis arsiran pendek, bertujuan untuk menimbulkan efek pencahayaan. Kalau goresan garis dibuat memanjang, bisa kebablasan teknik cukilnya menerobos desain yang sudah dirancangnya. Setelah beberapa kali gagal, teknik ini dirasakannya cukup efektif untuk bisa memunculkan guratan cukilan kayu maupun lino. Kedua bahan ini hanya kayu yang murah dan berlimpah, sedang lino sangat terbatas dan juga tidak murah.
Karya-karya seni grafis murninya dapat juga disaksikan dalam kumpulan karya cukilan garisnya berjudul “Refress, 2012” terbitan Bentara Budaya, Jakarta. Seluruh foto dalam rubrik ini juga diolah dari halaman buku tersebut. Semoga saja uraian singkat ini dapat menggugah para perupa di Medan, khususnya anak berbakat bisa mencobanya. Siapa tahu dari usaha mencoba akan menimbulkan kecintaan untuk menekuninya bukan sekadar hobi tapi sudah menjadi profesi.
Distinguishing migrants from asylum seekers and refugees is not always a clear-cut process, yet it is a crucial designation because these groups are entitled to different levels of assistance and protection under international law.
An asylum seeker is defined as a person fleeing persecution or conflict, and therefore seeking international protection under the 1951 Refugee Convention on the Status of Refugees; a refugee is an asylum seeker whose claim has been approved. However, the UN considers migrants fleeing war or persecution to be refugees, even before they officially receive asylum. (Syrian and Eritrean nationals, for example, enjoy prima facie refugee status.) An economic migrant, by contrast, is person whose primary motivation for leaving his or her home country is economic gain. The term migrant is seen as an umbrella term for all three groups. Said another way: all refugees are migrants, but not all migrants are refugees.